OPINI  

Andai yang Disebut Jokowi Itu Roti Maros

(FOTO: ILUSTRASI)

Presiden Jokowi tidak salah ucap. Memang harus bipang ambawang yang dibacakannya, sesuai naskah yang dibuatkan.

Oleh Imam Dzulkifli

Jokowi mengucapkan itu pun dalam keadaan sadar, rambut basah, dan pakai jaket bomber. Makanya respons orang-orang dekat Istana itu mengagetkan atau malah menjengkelkan.

Ali Muchtar Ngabalin hingga Fadjroel Rachman mestinya sadar potensi dirundung warganet lebih besar ketimbang peluang mereka naik gaji atau ditambah THR-nya.

Menteri Perdagangan sebagai tuan rumah penanyangan video itu lebih gentle. Dia menyadari kekeliruan lantas minta maaf. Walau tetap saja ada yang menganggapnya aneh, gagap, dan menyudutkan atasan.

Harusnya, kata seorang esais di dinding Facebook-nya, menteri itu tidak perlu minta maaf agar tak tampak ada kesalahan. Usulnya mirip cara kerja Elsa di Ikatan Cinta, menutupi kebohongannya dengan terus membohongi Nino dan Papa Surya.

Walau memang seharusnya tidak ada kesalahan, andai Jokowi tahu hal lain di luar nama-nama ikan. Mudah-mudah dengan kejadian ini, koleksi buku presiden kebanggaan kita semua, bisa lebih variatif, bukan komik saja.

Sebelum proses syuting ajakan belanja kuliner online itu, Jokowi tentu sudah membaca terlebih dahulu teks sambutannya. Dan saya yakin dia tahu apa itu gudeg jogja, bandeng semarang, siomai bandung, dan pempek palembang tetapi belum familiar dengan bipang ambawang. Mengapa tidak bertanya pada staf? Atau kalau malu kan bisa izin sebentar ke toilet dan googling.

Bila sinyal wifi ruang kerjanya kuat, saya prediksi tidak sampai dua menit Jokowi sudah memahami bahwa bipang ambawang lebih cocok dikampanyekan pada Desember nanti. Bukan sekarang.

Kalau pun sudah tahu bipang ambawang, mengapa memilih yang berisiko? Lebih aman bila Jokowi menyebut roti maros.

Roti maros biar bagaimana pun mengandung bahan-bahan yang bisa dikonsumsi seluruh kalangan. Semua agama membolehkan penganutnya makan penganan dari tepung, ragi, telur. Isiannya juga selai kaya, bukan padatan wiski atau cacahan daging sapi.

Andai Jokowi mengganti bipang ambawang dengan roti maros, Chef Renatta Moeloek kan bisa sekalian tahu bahwa ada roti lain yang bisa dibuatkannya tutorial selain roti kuro-kuro. Renatta akan membuat adonan sambil menjelaskan peran dan kedudukan setiap bahan. Sayangnya menu ini tidak akan membuat Renatta tampak gahar sebab membuat roti maros tak perlu sambil mengasah pisau.

Andai Jokowi menyebut roti maros, penganan itu juga punya kans untuk naik kelas, mungkin akan mulai dijual di bandara dengan kemasan yang lebih luks. Tentu bukan lagi dengan bungkusan koran bekas yang dilapisi plastik.

Para sopir angkutan daerah pun bisa kembali bergairah mengajak penumpangnya mampir ke toko-toko roti di sepanjang jalan poros Maros, karena baru saja di-endorse oleh seorang tokoh yang tidak cuma terkenal di Solo, tetapi dunia. Dia peringkat 12 tokoh muslim berpengaruh di planet ini.

Andai Jokowi menyebut roti maros, kita tidak perlu menyaksikan presiden dikecam karena kepasrahan pada naskah pidato. Jika pun belum kenal roti maros karena lebih kenal roti boy, masih ada ribuan kuliner lain nusantara yang bisa dipidatokan.

Atau bisa dilihat dari sudut pandang lain. Andai presiden kita lebih mau membaca, Ngabalin atau Fadjroel dan siapa pun yang coba mengklarifikasi, tidak perlu mengorbankan diri untuk dicaci.

Andai presiden kita lebih luas referensinya, kesalahan semacam itu tak perlu terjadi. Iya, kesalahan. Karena mau dibela seperti apapun, menganjurkan rakyat memesan babi panggang di momentum Lebaran, sangat tidak tepat. (*)