NEWS  

Kisah Penjual Es Lilin Jadi Insinyur, Dekannya Teman Kecil, Pernah Sama-sama Angkat Gabah di Lapri

Abdul Salam dikalungi medali Program Profesi Insinyur oleh istrinya, Nuraeni di rumah mereka di Tanralili, Maros, Jumat, 19 Juni 2020. (FOTO: MATAMAROS.COM)

Sudah bekerja dan bahkan telah menjadi seorang pemilik perusahaan, pria ini tetap didera letupan perasaan yang hebat saat namanya disebut sebagai peserta yudisium.

Liputan:
Imam Dzulkifli, Tanralili

JUMAT, 19 Juni 2020 bakal menjadi salah satu hari yang dikenang Abdul Salam seumur hidup. Di ruang tengah rumahnya di BSS Bukit Indah Kapuk, Dusun Kaluku, Desa Purna Karya, Kecamatan Tanralili, Kabupaten Maros, dia menjalani yudisium gelar insinyurnya dari Fakultas Teknik Industri (FTI) Universitas Muslim Indonesia (UMI).

Bangkit dari tempatnya pada sebuah sofa berwarna jingga, di bawah sebuah pendingin ruangan, di dekat pot-pot bunga, Salam mengucap sumpah sebagai insinyur. Beberapa menit sebelumnya, layar menampilkan data diri para peserta yudisium. Salam dinyatakan lulus dengan IPK 4,00.

Hajja Nuraeni, A.Md, mengalungkan medali PPI (Program Profesi Sarjana) ke leher suaminya dengan pelan dan tenang. Sungguh sebuah pengalaman yang bagi semua orang di ruangan itu, adalah yang pertama sepanjang hidupnya. Menyaksikan prosesi sakral akademik dari layar Zoom. Medali dikalungkan oleh istri, suami, atau keluarga dekat masing-masing. Bukan oleh rektor ataupun dekan.

Memang tak pernah Salam bayangkan bakal disumpah sebagai insinyur di kediamannya. Seharusnya di ballroom hotel. Atau paling tidak di aula kampus. Tetapi pandemi Covid-19 membuat segala pertemuan mesti digelar secara digital. Era new normal sudah dijalani namun belum elok membuat perkumpulan saat para pejuang medis dan negara masih berjuang.

Salam atau nama lengkapnya kini menjadi Ir H Abdul Salam HS, S.Si.T, MH pun tetap mensyukuri semuanya. Pria kelahiran Bone, 25 September 1975 itu berterima kasih kepada Tuhan karena hari ini diberikan kesempatan langka. Menjadi insinyur dalam seremoni yang digelar dari kompleks perumahan yang sedang dikerjakannya dengan penuh perjuangan.

Rumah yang ditempati Salam yudisium adalah rumah contoh dari klaster vila BSS Bukit Indah Kapuk. Itu adalah langkah naik kelas yang dilakoninya dalam karier sebagai pengembang. Sebelum ini, Salam telah membangun lebih dari 2.000 unit rumah subsidi. Karier yang juga belum lama ditempuhnya. Baru pada 2015 dia berkiprah sebagai developer dengan bendera PT Sanusi Karsa Tama (Sakatama).

Di BSS Bukit Indah Kapuk pun masih ada klaster rumah subsidi. Tetapi keberadaan klaster vila dan bisnis (ruko) bagaimanapun adalah hal baru. Apalagi ditambah dengan destinasi wisata alam prestisius pada lahan 10 hektare di belakang perumahan tersebut.

Saking bersemangatnya, Salam bahkan memilih tinggal di situ. Menempati rumah contoh klaster vila yang sudah berdiri kokoh di atas bukit. Pagi hingga malam menemani para pekerja.

“Dan sekarang saya diyudisium insinyur di rumah ini. Momen yang begitu istimewa. Sungguh pandemi sekalipun tetap ada hikmahnya,” ujarnya.

Penjual Es

Meski sudah terbilang sukses di dunia usaha, Salam tak bisa membendung haru dengan gelar insinyurnya ini. Ingatannya mundur ke 30-an tahun silam di Lappariaja, Kabupaten Bone.

Salam kecil adalah pekerja keras. Meski orang tuanya relatif berada, dia tak bermanja ria. Uang jajan dia upayakan sendiri. Salam berjualan es lilin dari kelas I SD, hingga lulus.

Sambil menatap laptop saat pembawa acara yudisium mulai berbicara, Salam mengenang pengalaman menyedihkan, suatu hari di Lapangan Leppange. Hari itu Salam yang berusia 7 tahun, membawa sepeda dan termos esnya ke lapangan sepak bola. Sedang banyak orang di sana, ada pertandingan antarkampung.

Tetapi harapan mendapat banyak pembeli sirna usai tendangan penalti didapat salah satu klub. Bola yang memantul menghantam termosnya. Es berserakan seketika, di dekat tiang gawang.

Salam masih mengingat betapa merah wajahnya saat itu. Dengan mimik malu dan dipandangi mungkin semua orang yang ada di sana, dia memunguti satu per satu esnya. Lalu pulang dengan murung.

“Setiap pulang sekolah saya keliling jualan es. Barangkali ada 50 kilometer yang saya tempuh setiap hari. Melewati dua kecamatan; Lappariaja dan Bengo,” tuturnya.

Es itu dibuat oleh kakaknya yang saat itu sudah SMA. Salam digaji harian. “Kalau habis, per termos saya diupah 125 rupiah.”

Salam mengisahkan, jiwa enterpreneur-nya memang terbentuk sejak kanak-kanak. Setiap dibawa jalan-jalan ke Makassar, dia paling suka mengunjungi toko buku. Bermacam-macam pulpen yang bentuknya unik (dan tentu saja tak ada di Bone) dia beli dan kemudian dia jual kembali di sekolahnya. Saat jambu di pekarangan rumah berbuah, dia juga akan menjajakannya dan dijadikan uang.

Makanya, sampai dewasa dia tak pernah tahu rasanya gengsi. Dia pernah bekerja di kapal, terombang-ambing di laut dengan badan penuh oli sebelum pada 2006 terangkat PNS.

Kini, saat ikhtiarnya berkembang juga ke dunia bisnis, Salam juga tak segan untuk berbecek-becek. Saat diyudisium saja dia mengenakan jas dan dasi. Sebelum dan setelah acara itu, dia kembali memakai pakaian kerja.

“Saat ini para pekerja tak cuma membangun rumah, tetapi juga merintis tempat wisata. Saya menemani mereka, siang dan malam, panas ataupun hujan,” ucapnya.

Salam memang merasa belum waktunya menarik diri dari urusan-urusan teknis, walau harus membuat badan dan pakaiannya kotor. Sebab sebagai insinyur mesin, bidang perumahan tentu saja berbeda. Makanya, sebagai owner dia mesti melepaskan statusnya itu untuk ikut memasang batu pondasi atau membetulkan letak seng misalnya.

Kenangan dengan Dekan

Keunikan lain (Salam menyebutnya anugerah), hari ini dia diyudisium di FTI UMI yang dekannya sudah begitu dikenalnya; Zakir Sabara Haji Wata.

Salam dan Zakir sama-sama berasal dari Bone. Beda desa namun hanya dipisahkan oleh aspal jalan nasional. Salam dari Desa Samaenre, Zakir asal Desa Ujung Lamuru.

Mereka terpaut satu angkatan. Salam lebih muda. Saat SMP mereka sudah satu sekolah di SMP Ujung Lamuru (kini SMPN 1 Lappariaja). Salam kelas satu, Zakir kelas II dan ketua OSIS.

“Saya tidak heran kalau kini beliau dikenal sebagai pimpinan dan sosok kreatif di fakultasnya dan bidang pengabdian lain. Dari dulu Pak Zakir sudah menonjol jiwa leader-nya,” ucap Salam.

Tetapi di luar jam sekolah, Salam kecil dan Zakir kecil adalah kompetitor. Mereka bersaing mencari pelanggan pabrik gabah. Keduanya sama-sama membawa nama pabrik milik ayah masing-masing.

Kadang, kenang Salam, mereka berpapasan di jalanan, dengan punggung terbebani karung berisi gabah atau beras. “Kalau diingat-ingat, rasanya lucu juga,” imbuhnya.

Makanya dia juga begitu bangga karena hari ini melihat teman kecilnya ada di barisan penting acara yudisium. Pejabat pertama yang dipersilakan memberi kata-kata sambutan.

Dari layar laptop Lenovo, Salam menyimak baik-baik setiap kata yang diucapkan Zakir. Rekan sekampung, pesaing terberatnya memikul gabah di masa lalu.

“Pak Zakir-lah yang mendorong saya untuk mengambil program insinyur. Katanya tidak baik kalau lama-lama S1,” sebutnya.

Salam yang menunggu penyumpahan sambil tetap terhubung dengan para mitranya di room chat WhatsApp tiba-tiba mengucap kagum kembali saat Ketua Yayasan Wakaf UMI, Mochtar Noer Jaya lewat telekonferensi, menyebut nama Zakir sambil menitikkan air mata, saking bangganya dengan capaian sang putra Lapri itu sebagai dekan.

Wisuda Magister

Zakir juga yang memotivasi Salam untuk langsung menempuh pendidikan strata dua. Di UMI juga, tetapi Fakultas Hukum.

Menariknya, wisuda magister Salam akan digelar sebentar lagi, 4 Juli mendatang. Hanya berjarak dua pekan dari yudisium insinyurnya dan sudah hampir pasti akan diselenggarakan secara virtual lagi.

Tetapi Salam kadang masih saja belum percaya sepenuhnya bahwa dia sudah “sejauh” ini di dunia akademik. Sebab tidak seperti Zakir yang menseriusi dunia kampus, Salam telanjur menikmati pengabdiannya di dunia konstruksi. Sejak 2015 dia jadi pengembang perumahan dan mencatatkan pencapaian yang tidak main-main. Ribuan rumah bersubsidi sudah dia bangun untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Sambil bercanda, Salam mengaku agak aneh. Seorang insinyur mesin, magister hukum, kerja perumahan. Perasaan itu juga yang dia utarakan kepada Syarif Burhanuddin, Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang juga diundang FTI UMI pada yudisium virtual itu.

“Di situlah uniknya,” balas Syarif lewat pesan WA. Dia ternyata menyimak sepenuhnya acara itu. Termasuk saat nama Salam disebut. Syarif bahkan mengirim foto gambar laptop saat data diri Salam yang ditampilkan.

Begitulah hidup. Jalan masing-masing orang berbeda. Bahkan pada satu orang sekalipun, kerap kali harus menjadi berbeda di tahapan-tahapan berikutnya.

Salam menikmati semuanya dan hari ini dia dilanda haru yang cukup dalam. Si penjual es lilin yang pernah menitikkan air mata di lapangan bola karena termosnya terkena bola itu kini sudah insinyur.

Salam terus tersenyum setelah disumpah. Dia menyanyikan Mars FTI UMI dengan khidmat. Berdiri di depan laptop dengan tangan terkepal, penuh rasa bangga. (*)