NEWS  

Perempuan Tangguh di Bawah Pohon Mahoni

Tante Cia mendorong sepedanya saat mengantarkan elpiji untuk pelanggannya. (FOTO: PRIBHAKTI ISLAM/MM)

HUJAN diyakini balai meteorologi akan turun pada sore hari, Rabu, 30 November 2022. Tetapi sampai selepas jam makan siang, tanda-tanda itu belum terlihat. Matahari masih saja terik di atas langit Kota Maros, daerah yang berbatasan dengan Kota Makassar.

Di bawah sebuah pohon mahoni pada pertigaan Jalan Azalea, tak jauh dari pasar utama di kota itu, Cia bernaung di atas terpal bekas tas pembungkus seprei. Di jari tangannya terselip sebatang lidi untuk menunjuk ayat pada kitab suci yang selalu dibawanya saat mencari nafkah.

Perempuan 58 tahun itu yakin tanpa kitab suci itu ia akan hidup rapuh seperti batang pohon mati. Tidak seperti batang mahoni yang menjadi rumah baginya ketika siang, pohon yang begitu kukuh.

Tante Cia, begitu orang-orang memanggilnya, ditinggal mati Muhammad Yusuf, suaminya, pada tahun 2000. Artinya sudah lebih dari dua dekade tanggung jawab menafkahi keluarga pindah ke pundaknya.  Cia mengaji untuk menguatkan dirinya menghadapi hidup yang tampak tak pernah mudah baginya. Dalam sebulan dia bisa khatam berkali-kali.

Maka bagi Anda yang mungkin sedang merasa sangat luka oleh takdir, ada baiknya Anda bercakap-cakap dengan Cia. Ia tua dengan raga yang kian lemah, tetapi jiwanya tangguh. Kisah hidupnya akan “menampar” dan barangkali bisa menyadarkan Anda untuk lebih bersyukur hadir di bumi.

Cia di usianya sekarang masih saja bisa menjadi teladan sebagai sosok perempuan mandiri. Dia mencari nafkah untuk empat orang anaknya dengan menjadi kurir tabung gas bersubsidi kemasan 3 kilogram. Dia bekerja untuk sebuah pangkalan elpiji resmi Pertamina di jantung kota.

Dia mengantarkan elpiji ke rumah-rumah warga dan mendapat upah seikhlasnya. Seperti hari itu. Cia mengayuh sepeda tuanya yang memuat tujuh tabung elpiji berisi penuh; tiga tabung di belakang, empat di depan, diikat pakai tali.

Ralat, Cia tak mengayuh sepeda, melainkan mendorongnya.

“Kalau sedang mengantar tabung gas, saya agak sulit menaiki sepeda ini karena nyaris tak ada ruang untuk kaki. Saya mendorongnya agar lebih cepat sampai,” kata Cia. Kepalanya dilindungi sebuah topi caping, topi yang kerap dikenakan petani saat di sawah.

Sepeda milik Tante Cia adalah kendaraan tanpa rem. Jika ingin menghentikan laju sepeda, dia menggunakan dengan alas sandalnya yang sebelah kiri.

“Makanya sandal kiri saya selalu lebih cepat menipis dibanding yang kanan,” kata Cia, tertawa.

Langganan elpiji Tante Cia adalah ibu-ibu rumah tangga dan warung-warung kecil. Tetapi dia bukan kurir yang dilengkapi dengan ponsel android dan aplikasi pemesanan. Ia tak punya gawai apapun. Ia akan mendatangi orang-orang itu untuk menanyakan apakah sudah memerlukan tabung baru. Kalau tidak begitu, Tante Cia tak akan punya pelanggan.

Pejuang Keluarga

Rumahnya tidak di sekitaran tempat mangkalnya itu. Tante Cia tinggal di pinggiran kota, kira-kira berjarak lima kilometer. Usai salat Subuh, dia akan mengambil sepedanya dan mulai mempersiapkan diri untuk pergi ke kota. Dia mengayuh sepeda di antara gelap dan dinginnya awal pagi.

Cukup jauh dan cukup menguras tenaga dari tubuh tuanya. Tetapi itu dirasanya lebih baik dibandingkan berjualan elpiji di kampungnya. Banyak saingan, katanya.

Makanya ibu dari Suci, Fatimah, Iska, dan Said itu memutuskan mencari ladang rezekinya sendiri di kota. Sayangnya dia tak punya modal untuk menyewa kios. Maka pohon mahoni di tepi Jalan Azalea itu yang dijadikannya stan, sekadar melindungi diri dari terik matahari ketika menunggu pembeli.

Sedangkan tabung-tabung elpiji dagangannya disimpan di seberang jalan, di pekarangan samping sebuah warung makan masakan Lamongan. Tante Cia akan mengaji saat tak pergi menyapa pelanggan sembari memperhatikan lapaknya yang berjarak lima meter dari tempatnya bernaung.

Sesekali dia mendapat orderan mengupas bawang atau memotong sayuran dari pemilik warung makan Lamongan itu. Dia juga numpang salat di situ jika sudah mendengar azan berkumandang.

Sudah bertahun-tahun Tante Cia menjadi kurir elpiji. Penghasilannya tidaklah banyak. Bahkan ketika sedang sepi, dia hanya bisa menjual satu atau dua tabung saja. Tetapi dia tak menyerah, tidak juga mengeluh. Karena kalau menyerah dan lebih banyak mengeluh, nasib keluarganya hanya bertambah buruk.

Tante Cia menjadikan pelataran sebuah warung sebagai “kantor”. Dia beristirahat, makan, dan mengaji di situ. (FOTO: PRIBHAKTI ISLAM/MM)

Tante Cia pun yakin akan ada saja rezeki yang menghampiri, selama mau berusaha. Terbukti sampai hari ini dia dan anak-anaknya masih bisa bertahan hidup. Setidaknya beras dan sedikit lauk pauk bisa tertutupi.

“Kadang ada juga pelanggan yang memberi uang lebih. Saya terima karena prinsipnya saya tidak meminta,” ucapnya.

Tante Cia tak pernah mengikuti seminar atau acara pemberdayaan perempuan. Namun ia tahu perempuan, bahkan saat sudah ditinggal suami dan semakin tua sekalipun, tetap bisa berdaya.

Saat berangkat dari rumahnya pada subuh hari, Tante Cia akan membonceng plastik berisi nasi bekalnya, serta pakaian bersih dari orang-orang yang mempercayakannya untuk mencuci.

Tante Cia memang seorang pejuang keluarga. Dia menolak menyerah pada keadaan. Dia yakin pada setiap kayuhan sepedanya ada putaran rezeki juga yang bisa didapatnya. Sore hari ketika pulang ke rumahnya, dia akan mampir di rumah-rumah yang pemiliknya terbiasa tidak mencuci pakaian sendiri. Tante Cia akan membawa pakaian-pakaian kotor itu ke rumahnya, dicuci dengan sisa tenaga, dijemur, lalu dikembalikan lagi dalam keadaan bersih.

Tante Cia tak pernah terlibat perbincangan seputar kesetaraan gender. Namun setiap hari dia mempraktikkannya. Dia membuktikan bahwa bukan cuma laki-laki yang kuat bekerja. Dia perempuan, semakin tua, namun bisa diandalkan.

Tante Cia memang sekuat batang mahoni tempatnya biasa bernaung. Ia juga mentransfer sifat dari mahoni itu.

Mahoni di tepi jalan sanggup menjadi pohon pelindung. Bisa mengurangi polusi udara sekitar 47%-69%. Daun-daunnya bertugas menyerap polutan-polutan di sekitarnya. Sebaliknya, dedaunan itu akan melepaskan oksigen (O2) yang membuat udara di sekitarnya menjadi segar.

Tante Cia juga begitu. Dia perempuan, sudah tua, namun bisa menjadi pelindung bagi anak-anaknya. Kerja kerasnya menghidupi keluarga. Kesabarannya juga melepaskan inspirasi yang bisa dihirup oleh siapa saja yang membutuhkan teladan untuk tetap kuat menjalani hidup di bumi. (imam dzulkifli)