NEWS  

Jika Dewan Kesenian Butta Salewangang Telah Mati, Malam Ini Takziahnya

Lory Hendrajaya menjelaskan soal DKBS. Tunggal Hayaskoro (belakang) "memberi" panggung sebelum kembali berbalik dan membaca puisi. (FOTO: IMAM DZULKIFLI/MM)

MAROS, MM – Wawan Mattaliu berterus terang. Sastrawan Maros itu mengaku cemas dengan penyematan nama Dewan Kesenian Butta Salewangang (DKBS) untuk acara Kopi dan Puisi di Ale Coffee, Jumat, 4 Februari 2022.  Dicetak di spanduk. Apalagi saat memulai, pemandu acara Fadillah Idris menyebut Wawan sebagai ketua DKBS.

Wawan tetap ke panggung. Namun dia bilang tak ada DKBS di acara itu. “Ini acara serba Lory. Ketua panitianya Lory, yang mencari uang untuk kopi kita Lory, yang memasang spanduk juga Lory,” ucapnya.

Lory yang dimaksudnya adalah Lory Hendrajaya, penggagas kegiatan baca dan musikalisasi puisi tersebut.

“Dan kalau DKBS dianggap telah mati, biarlah malam ini menjadi takziah kebudayaan,” sambung Wawan. Mantan anggota DPRD Sulsel itu mengaku tak pernah berpikir acara itu harus batal hanya karena ada nama lembaga yang diikutkan. Bisa ada acara puisi lagi di Maros setelah sekian lama, kata Wawan, adalah kebahagiaan.

Wawan menanggapi pendapat beberapa penggiat sastra di Maros soal adanya DKBS. Lembaga itu dinilai sudah lama, sudah 20 tahunan, tak ada. Tiba-tiba muncul menggelar acara.

“Ada yang menyebutnya sebagai lembaga siluman. Tetapi barangkali itu karena di masa lalu DKBS punya hak kelola terhadap APBD. Mungkin itu yang menghadirkan curiga pada sebagian teman,” sebutnya.

“Sekarang sudah berbeda. Kopi kita saja malam ini dibayarkan Lory,” Wawan mengulanginya sekali lagi.

Lory juga kebagian giliran untuk mengklarifikasi. Saat penyair Tunggal Hayaskoro naik ke panggung dan hanya mau memulai baca puisi jika Lory tak menjelaskan DKBS.

Lory naik. Tunggal membalik badan, menghadap ke latar panggung.

“DKBS ini sungguh hanya bermaksud agar kita dipersatukan lagi. Agar hajatan sastra menggeliat lagi. Namun jika itu tak dianggap perlu, yang penting kitanya sama-sama terus di acara seperti ini. Kita-kita ini lebih besar dari sebuah lembaga,” tutur Lory. Tunggal pun membaca puisi. Dua malah. Dua-duanya tentang kucing.

Setelah itu bergantian para penyair menjejak panggung. Kopi dan Puisi berlangsung pada malam yang panjang. Baru selesai jelang pergantian hari. (idz)